Jakarta – Penelitian United States Department of Agriculture (USDA) pada 2021 menyebutkan Indonesia mengonsumsi beras sebanyak 35,60 juta ton per tahun. Berada di posisi lima di bawah China, India, Vietnam, dan Bangladesh.
Penelitian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada tahun 2021 mendata bahwa konsumsi beras per kapita cukup tinggi, yaitu 114,6 kg per orang per tahun.
Penelitian tersebut tampaknya memang akurat karena salah satu istilah yang melekat dengan orang Indonesia adalah “belum makan kalau belum makan nasi”. Perwujudan istilah tersebut terlihat dari sebagian orang Indonesia yang kerap menambahkan nasi ketika telah mempunyai seporsi karbohidrat di piring makannya. Contohnya saja, mi instan ditambah nasi, bakso ditambah nasi, dan banyak lainnya.
Tentu ada cerita panjang di balik nasi yang menjadi top of mind dari karbohidrat. Namun, tanpa mengetahui cerita lengkapnya, hal tersebut dirasa lumrah lantaran Indonesia memiliki nama yakni negara agraris. Sektor pertanian Indonesia pun menjadi hal utama dalam perekonomian nasional dan ketahanan pangan.
Kendati menyandang gelar negara agraris yang seharusnya mudah memperoleh hasil pertanian dan menjadi negara produksi beras nomor tiga di dunia setelah China dan India, jalan Indonesia untuk menjaga ketersediaan beras tidak selalu mulus. Kerap kali Indonesia harus berhadapan dengan masalah stok beras dan harga beras yang mahal.
Menjaga stok dan harga
Melihat data Badan Statistik Nasional (BPS), luas panen dan total produksi padi di Indonesia mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2019, terdapat 54,5 juta ton gabah kering giling (GKG) yang berasal dari 10,68 juta hektare luas panen. Produksi tersebut turun dibandingkan tahun 2018 yang mencapai 58,2 juta ton GKG.
Penurunan terus berlanjut pada 2020 dengan total produksi 54,65 juta ton yang berasal dari 10,65 juta hektare luas area panen. Lalu pada 2021 kembali turun menjadi 54,42 juta ton GKG dengan luas lahan 10,41 juta hektare. Namun naik sedikit menjadi 55,67 juta ton GKG pada 2022.
Akan tetapi, peningkatan produksi tersebut tak serta merta membuat stok cadangan beras pemerintah (CBP) di gudang Bulog cukup aman sepanjang tahun 2022. Jelang pengujung tahun, stok CBP di Bulog semakin menipis dan dipastikan tidak bisa memenuhi target cadangan beras sebanyak 1,2 juta ton pada akhir tahun 2022.
Oleh karenanya, Pemerintah melalui Menteri Perdagangan, pada awal Desember 2022 memberi mandat kepada Perum Bulog untuk melakukan impor beras sebanyak 500 ribu ton.
Kebijakan impor beras terpaksa diambil karena cadangan beras yang semakin menipis. Jika tidak ditambah maka dampaknya akan lebih besar, di antaranya harga beras yang meningkat tajam dan berujung pada peningkatan inflasi yang mengganggu stabilitas ekonomi Indonesia yang tengah berangsur pulih.
Kendati keputusan impor tersebut menuai berbagai tanggapan, sejatinya impor beras sudah terjadi sejak era pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1910 dan berlanjut pada era Orde Baru 1969.
Meski harus diakui Indonesia tidak sepenuhnya bersih dari impor, perlu digarisbawahi bahwa impor bukan memegang peranan utama dalam penyediaan stok beras.
Sepanjang periode Januari-Oktober 2022, volume impor beras sebanyak 301,7 ribu ton. Jumlah tersebut menurun 6,34 persen atau 20,4 juta ton jika dibandingkan periode yang sama di 2021.
Beras impor sebanyak 500 ribu ton tersebut mulai berdatangan pada akhir Desember 2022 dan mendarat bertahap hingga Februari 2023. Kedatangan beras impor itu pun dijamin Bulog akan selesai sebelum panen raya berlangsung pada Maret 2023.
Setibanya di Indonesia, beras impor kualitas premium tersebut langsung didistribusikan oleh Bulog dengan harga jual beras medium yakni Rp8.300. Penyaluran beras impor yang merupakan CBP tersebut dilakukan melalui Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) atau operasi pasar yang akan dilaksanakan sepanjang tahun 2023 dengan target penyaluran sebanyak 1,2 juta ton.
Melalui SPHP beras ini, Bulog melakukan penyaluran beras dengan harga Rp8.300–Rp 8.900 per kilogram disesuaikan dengan pembagian zonasi. Di wilayah Jawa, Lampung, Sumatera Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi dipatok harga Rp8.300 per kilogram.
Sementara, di wilayah Sumatera–kecuali Lampung dan Sumatera Selatan–, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan dibanderol harga Rp8.600 per kilogram, dan Wilayah Maluku dan Papua sebesar Rp8.900 per kilogram.
“Poinnya, yang terpenting tetap memperhatikan harga penjualan sampai ke tingkat konsumen harus sesuai dengan harga eceran yang telah ditetapkan. Selain itu, sebagai jaminan atas mutu, beras yang dijual harus mencantumkan informasi harga, kelas mutu, dan berat bersih,” kata Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi.
Upaya memperluas jangkauan distribusi CBP melalui SPHP juga dilakukan Bulog dengan menjalin kerja sama dengan ritel modern seperti Hypermart, Ramayana, Transmart, dan Indogrosir.
“Kerja sama ini sangat penting untuk mendukung upaya Pemerintah meredam gejolak harga beras. Jadi, kami perluas lagi jangkauan program SPHP ini dengan menggandeng ritel modern agar harga beras segera turun,” kata Direktur Utama Bulog Budi Waseso.
Berantas mafia
Namun, upaya mulia menjaga ketersediaan stok dan stabilisasi harga melalui operasi pasar justru ditangkap menjadi peluang bagi mafia. Para mafia beras dengan sengaja membeli beras Bulog untuk dikemas kembali dan dijual dengan jenama (merek) lain harga premium demi keuntungan pribadi.
Polda Banten menangkap tujuh tersangka dengan barang bukti yang berhasil disita adalah 350 ton beras Bulog yang sudah di repacking maupun yang belum, 5 timbangan digital, 6 mesin jahit karung, 8.000 karung bekas beras Bulog, 10.000 karung beras premium berbagai merek dan 50 bundel (nota penjualan, surat jalan, dan delivery order atau permintaan pengantaran).
“Motif mencari keuntungan pribadi. Modus repacking beras Bulog menjadi beras premium dengan berbagai merek, mengoplos beras Bulog dan beras lokal, menjual beras di atas harga HET,” sebut Kabid Humas Polda Banten Kombes Polisi Didik Hariyanto.
Penyelundupan tersebut, kata Dirut Bulog Budi Waseso, bahkan diindikasikan dijual ke Atambua, NTT, dan diselundupkan ke Timor Leste. Hal tersebut, tegasnya menunjukkan bahwa negara telah berusaha memenuhi kebutuhan masyarakatnya tapi ada oknum yang memanfaatkan sehingga, tak heran stok beras masih langka dan harganya masih mahal.
“Di sisi lain pengusahanya ini mendapat untung yang luar biasa, dia tidak mempertimbangkan kebutuhan masyarakat, kemampuan masyarakat membeli. Mereka hanya mencari keuntungan dan memanfaatkan operasi beras Bulog yang kita laksanakan masif untuk mencari keuntungan setinggi tingginya,” jelas Buwas.
Stok jelang panen raya dan Ramadhan
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengungkap stok beras dijamin aman karena akan ada 1 juta hektare lahan siap panen pada panen raya pada akhir Februari dan Maret 2023. Namun, ia menegaskan ketersediaan pasokan tidak dapat dilakukan sendiri, diperlukan kelancaran distribusi sehingga normalisasi harga beras tercapai.
“Ketersediaan ini tidak hanya berjalan sendiri, harus diikuti dengan distribusi-distribusi, dan lain-lain sebagainya sehingga normalisasi harga dari beras itu bisa juga dicapai,” katanya.
Hasil dari panen raya tersebut, di antaranya akan diserap oleh Perum Bulog yang mendapatkan penugasan untuk menyerap hasil panen petani sebanyak 2,4 juta ton tahun ini dan akan dijadikan sebagai cadangan beras Pemerintah.
Sebanyak 70 persen kebutuhan stok akan diserap dari panen raya periode Maret dan sisanya 30 persen akan diserap pada panen di Semester II 2023.