Jakarta – Para menteri keuangan (menkeu) dan gubernur bank sentral negara anggota ASEAN+3 sepakat memperkuat kerja sama keuangan regional dalam pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral Kawasan ASEAN+3 ke-26, di Incheon, Korea Selatan, Selasa (2/5).
Pasalnya, kawasan harus tetap waspada dengan gejolak sektor perbankan baru-baru ini di Amerika Serikat (AS) dan Eropa, meski memiliki dampak rambatan yang terbatas di ASEAN+3.
Dalam keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Rabu, Menteri Keuangan RI Sri Mulyani mengatakan penguatan kerja sama keuangan dilakukan melalui inisiatif di bawah Regional Financing Arrangements (RFA) Future Direction, Chiang Mai Initiative Multilateralisation (CMIM), ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO), serta Asian Bond Markets Initiative (ABMI).
Kemudian, melalui pembiayaan risiko bencana (Disaster Risk Financing/DRF) dan ASEAN+3 Future Initiatives termasuk pembiayaan infrastruktur, kajian studi pada fasilitas non pembiayaan, DRF, serta kajian studi beberapa tema strategis atas digitalisasi keuangan, keuangan berkelanjutan, utang korporasi, utang rumah tangga, dan transaksi mata uang lokal (Local Currency Transaction/LCT).
Pertemuan tersebut diselenggarakan di bawah mitra Keketuaan (co-chairmanship) Menkeu RI Sri Mulyani, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, Menteri Keuangan Jepang Shunichi Suzuki, dan Gubernur Bank Sentral Jepang Kazuo Ueda.
Adapun Presiden Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB), Direktur AMRO ASEAN+3, Deputi Sekretaris Jenderal ASEAN, dan Deputi Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) pun turut hadir.
Pada pertemuan itu, Menkeu RI Sri Mulyani menyampaikan pertumbuhan ekonomi ASEAN+3 cukup kuat, yakni sebesar 3,2 persen pada tahun 2022, terlepas dari efek pandemi COVID-19 yang masih ada dan konflik Rusia-Ukraina yang meningkat menjadi krisis.
Ke depan, ASEAN+3 diperkirakan tumbuh sebesar 4,6 persen pada tahun 2023, dipacu oleh permintaan domestik yang kuat karena pemulihan ekonomi terus menunjukkan perbaikan.
Sementara itu, Gubernur BI Perry Warjiyo menyoroti bahwa tantangan saat ini serta ketergantungan yang besar pada mata uang dominan tertentu untuk perdagangan internasional dan penyelesaian investasi dapat meningkatkan kerentanan hingga meningkatkan risiko stabilitas keuangan di ASEAN+3.
Oleh karena itu, ASEAN+3 perlu berinovasi untuk dapat menjaga stabilitas, di tengah inflasi yang masih tinggi, kondisi likuiditas yang lebih ketat, ruang kebijakan yang lebih sempit, dan pengaruh kuat dolar AS.
Perry menekankan pentingnya memperkuat dan meningkatkan kerja sama di antara negara-negara ASEAN+3 dalam konektivitas pembayaran dengan mempromosikan penggunaan mata uang lokal yang lebih luas untuk transaksi.
Berkaitan dengan hal tersebut, pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral kawasan ASEAN+3 menyambut baik dan mengakui perkembangan kajian sistem pembayaran lintas batas di ASEAN+3, khususnya mengenai penguatan LCT dalam pembahasan isu tematik ASEAN+3.